Valentino Jonathans lahir sewaktu orang tuanya menjadi pelarian, sembunyi dari kejaran kaum republik. Dia keturunan Belanda Depok yang di awal proklamasi 17 Agustus 1945 tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Kini, Valentino menjabat Ketua Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), paguyuban kaum Belanda Depok.


Pernah mendengar ‘Belanda Depok’? Komunitas eks budak Cornelis Chastelein ini masih eksis sampai sekarang. Sebagian berdomisili di Depok, Jawa Barat, tanah leluhur kampung halaman mereka. Sebagian lagi bermukim di Belanda.
 
Di Negeri Tulip itu, Belanda Depok mendirikan paguyuban yang dinamai de Dodol, singkatan dari Depok Ondervindt Doorlopend Onze Liefd, artinya Depok membuat cinta kami tetap. Sedangkan orang Depok yang memilih tinggal di tanah kelahiran membentuk Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein.
“Meski jauh di mata, hubungan kami tetap dekat di hati. Seperti hubungan keluarga pada umumnya. Yang dari sana (Belanda) sering berkunjung kemari, dan yang dari sini sering berkunjung ke Belanda,” kata Valentino ditemui di Gedung YLCC, Depok, Jawa Barat, Selasa (18/10). Baik lewat email, sms, hingga bbm.
 
Belanda gelap

Kendati berjuluk Belanda Depok, jangan sekali-kali berpikir kalau mereka itu berparas bule. Mereka keturunan suku-suku dari wilayah Sulawesi, Kalimantan, Bali, Maluku dan lainnya. Hanya saja, pada masa kolonialisme Belanda, mereka pribumi istimewa yang punya pemerintahan sendiri, yakni Gemeente Bestuur yang bercorak republik.
 
Perlakuan istimewa diperoleh orang Depok tak terlepas dari sepakterjang Cornelis Chastelein, saudagar VOC generasi awal yang memerdekakan para budaknya melalui surat wasiatnya (baca:testament).
 
Sejarah mencatat, 18 Mei 1696, Cornelis membeli tanah Depok. Untuk menggarap tanah itu dia membeli 150-an budak. Siang hari para budak itu bekerja dan malam harinya diberi pendidikan agama Kristen Protestan. Pada 18 Mei 1696, dalam testament atau maklumat tertulisnya, Cornelis menjanjikan tanah kepada seluruh pekerjanya dan membebaskan dari perbudakan. Bila mau memeluk Kristen. Sejumlah 120 menuruti ajakan itu.
Testament direvisi hingga lima kali. Surat wasiat terakhir dikukuhkan di Resolutie des Casteels, Batavia, tanggal 13 Maret 1714. Begitu hebarnya testament itu, ketika Cornelis wafat pada 28 Juni 1714, testemant itu terus berlaku.
 
Berbekal testament itu juga, mantan budak yang beranak pinak di Depok membentuk tatanan pemerintah sendiri yang diatur dalam Reglement van Het Land Depok. Isi reglement di antaranya Depok dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih 3 tahun sekali melalui pemilu.
 
Setelah memeluk agama Nasrani, para budak dibagi menjadi 12 marga, yakni Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. Dalam perjalanannya Zadokh menghilang.
Menurut Valentino, garis keturunan orang Depok patrilineal. Marga turun dari laki-laki. “Zadokh habis karena mereka tak punya keturunan laki-laki. Orang Depok yang di Belanda juga masih mempertahankan garis kekerabatan. Di Belanda orang Depok tinggal menyebar di hampir seluruh kota.”
 
Konsekuensi Sejarah

Ketika 11 Oktober 1945 terjadi kegaduhan di Depok, ketika diserbu pejuang kemerdekaan dari seluruh penjuru mata angin karena tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, para Belanda Depok, dilindungi NICA. Orang Depok diinternir ke Kedunghalang, Bogor.
 
Dan pada 27 Desember 1949, saat Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia setelah penandatangan Konfrensi Meja Bundar (KMB), orang Depok pun dalam posisi yang dilematis. Mereka diberikan pilihan; bergabung dengan republik atau ikut ke Belanda. Sebagian pulang ke Depok bergabung dengan Indonesia dan sebagian lagi menjadi warga negara Belanda.
 
Otto Steva Jonathans adalah salah satu yang ada di pelarian itu. Otto menikah dengan Lena Oknyo, anak kandung Thio Pehtjoen, jawara Tionghoa yang tinggal di Pondok Cina, daerah tetangga Depok. Pernikahan itu berbuah lahirnya Valentino Jonathans. Begitu situasi pulih menyusul pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia, keluarga ini pulang ke Depok dan hidup damai berdampingan dengan orang kampung sekitar hingga hari ini.
 
Menjaga Warisan

Valentino muda langsung merantau usai mengenyam pendidikan di Akademi Ilmu Pelayaran, Jakarta. Setelah 20 tahun melanglang buana berpindah dari satu kota ke kota lain, Valentino akhirnya pulang ke Depok. Dia langsung aktif mengurus kaum Belanda Depok dan didaulat menjadi Penetua GPIB Immanuel Depok.
 
Tahun 2004 dia mencalonkan diri menjadi Ketua YLCC dan terpilih mengalahkan 4 kandidat lainnya. “Pemilihan Ketua YLCC digelar setiap 5 tahun sekali melalui rapat akbar yang dihadiri seluruh anggota dewasa. Sangat demokratis,” tuturnya. “Tahun 2009 sewaktu rapat akbar digelar, saya kembali terpilih. Jadi, saya sudah 2 periode dipercaya memimpin YLCC.”
Dulu, sewaktu Gemeentee Bestuur –pemerintah bercorak republik–Depok berkuasa, Presiden Depok dipilih 3 tahun sekali. Setelah merdeka, pemilihan pemimpin Belanda Depok di bawah payung YLCC dihelat 5 tahun sekali.
Tugas Ketua YLCC mengkoordinasikan masyarakat Depok lama yang 12 marga, menjaga asset berupa tanah pemakaman, lapangan sepakbola, sekolah, rumah sakit, gedung pertemuan, tempat ibadah yang merupakan warisan Cornelis Chastelein serta merawat bukti-bukti peninggalan sejarah.
“Sejarah tentang keberadaan  kami ini tidak diakui oleh pemerintah. Jadi tanggungjawabku sebagai orang Depok menjaga sejarah peninggalan warisan nenek moyang,” paparnya. Sejak jaman perbudakan, kenangnya, leluhur Valentinon yang asli Sulawesi, dibeli oleh Cornelis Chastelein di pasar budak.  Hubungan dengan Sulawesi putus sudah, dan menjadi orang ‘Belanda Depok’.

Related Post :